Talkshow: Action To Increase Indonesian Aviation Safety

Leave a Comment


Pada hari Selasa, 24/03/2015, bertempat di Airman Lounge Hotel Sultan Jakarta, CSE Aviation mengadakan talkshow dengan tema: The answer to the airline industry problem in Indonesia - Action to increase Indonesian aviation safety. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan di praktisi penerbangan, akademisi, maupun komunitas. Diantaranya disponsori oleh Garuda Indonesia, Air Asia, Mandiri, Angkasa Pura 1, Angkasa Pura 2 dan Tugu Pratama Indonesia.

Dibuka oleh Bapak Edwin Soedarmo, Direktur CSE Aviation mengangkat beberapa tantangan kedepannya. Diantaranya implementasi AEC. Serta berbagai tantangan kedepan yang harus dihadapi oleh Industri penerbangan  yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Acara ini menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan mulai dari Airline: Executive Director AirAsia Group: Mr. Tony Fernandez, Direktur Utama PT. GMF AeroAsia: Mr. Richard Budihadianto, Sekjen INACA: Mr. Tengku Budinurhanudin, Perwakilan dari Dirjen Hubud, Pak Kusnaidi. Diskusi ini dipandu oleh moderator Bapak Marsekal (Purn) Chappy Hakim.

Di Awal diskusi, moderator, Bapak Chappy Hakim mengajak seluruh yang hadir untuk sama-sama menjawab tantangan penerbangan di tahun 2015 ini. Jika melihat potensi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, industry penerbangan memiliki peluang besar untuk dapat berkembang. Pertumbuhan penerbangan di Asia Pasifik merupakan salah satu pasar dengan perkembangan paling pesat di dunia. AirAsia misalkan, yang merupakan salah satu jawaban akan tingginya permintaan akan jasa transportasi udara berbiaya rendah di Asia Pasifik. Image penerbangan yang dulunya erat dengan luxury dan eksklusifitas sekarang mulai beralih menjadi hal yang biasa dan dapat dinikmati oleh berbagai pihak. Namun, industri penerbangan di Indonesia tengah masa-masa kelam terkait dengan isu keselamatan. Namun hal tersebut selayaknya menjadi renungan bahwa hal tersebut merupakan proses panjang dalam usaha peningkatan keselamatan industry penerbangan. Keselamatan adalah tentang suatu superteam. Mulai dari Maintenance, Airline business, dan komponen-komponen lain yang mendukung sistem penerbangan secara keseluruhan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah National aviation authority (otoritas penerbangan nasional ). Alasan-alasan tersebut menjadi dasar mengapa diskusi ini dilaksanakan. Jika tidak didiskusikan maka standar keselamatan kita akan tetap terbenam, sementara bukankah kita seharusnya sama-sama memperbaiki hal tersebut?

Diskusi ini merupakan salah satu Exposure untuk menceritakan bagaimana kini rencana pihak perhubungan udara, langkah dari Sekjen inaca, serta pihak-pihak lain dalam rangka menyusun suatu rencana proses perbaikan keselamatan penerbangan Indonesia.

Pak Tengku , perwakilan INACA (Indonesia National Air Carriers Association), menyampaikan tentang berbagai tantangan yang dihadapi industry airline saaat ini. Nilai tukar rupiah yang memburuk menjadi salah satu factor meningkatnya pengeluaran maskapai karena cost structure maskapai yang umumnya dalam US Dollar sedangkan pendapatan dalam Rupiah. Selain, penurunan nilai tukar rupiah, terdapat faktor-faktor lain yang merugikan maskapai nasional secara persaingan dibandingkan maskapai-maskapai asing. Salah satu kebijakan yang dinilai memberatkan maskapai nasional adalah pajak impor komponen dan suku cadang yang dibebankan ke pihak maskapa. Pak Tengku juga mengungkit tentang pentingnya perhatian berbagai pihak menyambut ASEAN Opensky Policy serta kebijakan freedoms of flight. Dari sisi keselamatan, perwakilan INACA ini menekankan pentingnya peningkatan seluruh aspek-aspek keselamatan dalam usaha meningkatkan peringkat Indonesia dalam audit FAA menjadi kategori satu (saat ini kategori dua). Dari sisi kebijakan pelayanan, Pak Tengku menilai bahwa banyak kebijakan yang belum detail sehingga sulit diimplementasi dalam operasional harian. Sebagai contoh, kejadian keterlambatan massal yang terjadi terhadap salah satu maskapai nasional yang cukup chaos karena Peraturan Menteri (PM) no. 77 yang tidak menjelaskan secara detil hubungan antara penyebab keterlambatan dan pemberian kompensasi.



Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh CEO dari AirAsia Group, Bapak Tony Fernandez. Menurut beliau, hal yang paling utama dalam usaha meningkatkan standar keselamatan adalah transparansi seluruh pihak. Dari sudur pandang bisnis, Indonesia memupunyai potensi yang sangat besar di bidang turisme. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan mengembangkan industri transportasi udara. Perhubungan udara mampu menghasilkan lapangan kerja dan menjadi pemicu aktivitasi ekonomi di daerah. Salah satu contoh yang beliau angkat adalah kota Bandung. Tony bercerita tentang kunjungannya ke bandung, pemandangannya, tempat belanja, bahkan musik dangdut. Beliau berpikir bandung adalah kota yang bagus, namun tidak ada penerbangan langsung ke Bandung. Bagaimana bila ada penerbangan dari Kuala lumpur ke kota bandung, membuat orang-orang mengenal destinasi bandung. "it's a great city!" Dari asalnya tidak ada penerbangan, kini sampai ada 3x penerbangan ke bandung dalam sehari. Hingga sekarang bandung mengembangkan Bandara nya. Beliau yakin bahwa penerbangan adalah economic driver dan memiliki multiplier effect yang luar biasa.

Dengan adanya ASEAN sebagai one market, maka selanjutnya adalah bagaimana untuk menumbuhkan dan membuatnya lebih mudah. Karena ada sangat banyak kesempatan di luar sana. Dari penerbangan ini juga bagaimana meningkatkan lapangan pekerjaan. Karena di luar sana banyak talenta yang bisa dikembangkan. Bagaimana untuk menghimpun itu semua untuk bertumbuh.

Kemudian dari pak Richard Budihadianto, mewakili GMF AeroAsia juga sebagai IAMSA atau Maintenance. Dari segi Maintenance, tantangan yang dihadapi tak lain adalah sumber daya manusia. License engineer dan mechanic butuh sangat banyak karena pertumbuhan penerbangan kini cukup signifikan. Selain pertumbuhan penumpang, pertumbuhan fleet maskapai yang mendorong kebutuhan yang begitu tinggi. Saat ini perlu diperhatikan proses dari mendapatkan general license agar dapat mendidik lebih banyak tenaga yang dibutuhkan. Karena jika tidak akan terjadi bottleneck kapasitas perawatan. Selain itu juga bagaimana approvalnya diatur sehingga Airlines lebih efisien dengan tetap menjamin reliability. Ada beberapa trend sekarang dimana airline menjadi tidak berinvestasi suku cadang, dan dialihkan ke perusahaan Maintenance. Namun salah satu kendala adalah masih adanya tax untuk part part tertentu.

Setelah itu dilanjutkan pemaparan oleh perwakilan dari Hubud, Pak Kusnaidi, terkait Situasi Perhubungan Udara saat ini. Saat ini Perhubungan Udara sedang mengantisipasi perkembangan dan pertumbuhan penumpang fleet. Tidak dapat disangkal bahwa sekarang kondisinya Hubud seolah-olah defensif, menangkis kesana kemari. Apalagi dengan baru-baru ini diadakannya ICAO Audit dimana Indonesia masih mendapatkan nilai yang belum begitu baik. Tentunya saat ini hubud harus menerapkan Continuous Approach terkait masalah ini. Audit terakhir yang dilakukan ada di 8 area.
Area organisasi apakah sesuai dengan ICAO Convention. Salah satu kendalanya diantaranya karena beberapa ranah menyangkut kementerian yang lain untuk bagaimana authoritynya. Area lain diantaranya Pilot engineer dan ATC, Airworthiness, Annex 8, Sertifikasi produk, Operation, Navigation, Airport, maupun Aircraft Investigation yang merupakan ranah dari KNKT. Hasilnya effective implementation Indonesia mencapai 45% dari Rata rata ASEAN 60%. Tentunya ini jauh ketinggalan dibandingkan negara-negara lain. Saat ini fokus dari hubud bagaimana meningkatkan nilai tersebut. Karena begitu pentingnya FAA dan EU bergantung kepada ICAO. Kedepannya adalah bagaimana continuous monitoring dilaksanakan.

Selanjutnya oleh Pak Budi dari Manufaktur PT Dirgantara Indonesia. Transportasi Udara memang tidak tergantikan sehingga Indonesia harus menguasai transportasi laut dan udara. Saat ini dipandang perusahaan manufaktur tidak boleh tergantung pada negara. Karena itu salah satu strategi Dirgantara Indonesia untuk berfokus ke pesawat yang memiliki peluang bersaing yang besar, misalkan saja N219 yang menerapkan FAR 219. Selain itu juga saat ini PT DI memproduksi komponen dari Pesawat Airbus.

“Kalau 1/3 Indonesia adalah daratan 2/3 adalah lautan, maka wilayah udara kita adalah 3/3 yang merupakan potensi dari penerbangan.”

Di sesi tanya jawab ditanyakan mengenai bagaimana bargaining asosiasi maskapai tentang harga-harga, pajak, dsb. Intinya adalah bagaimana melibatkan berbagai departemen terkait Pajak tersebut. Karena Multiplier effects, akan menjulur kepada ekonomi contohnya Flying school yang berguna untuk dunia penerbangan dikenakan pajak yang cukup besar. Ujung-ujungya adalah bagaimana policy diterapkan oleh pemerintah. Koordinasi sebaiknya lebih ditingkatkan. bagaimana approach yang terkoordinasi dengan baik. Karena Industri ini membutuhkan efisiensi yang tinggi. Kelemahan dengan cost structure yang sekarang cukup besar sehingga perlu dipush, selain itu efeknya termultiply.Karena itu pemerintah perlu mengassist sehingga dapat setingkat world class. Karena pelanggan sangat penting.

Selain itu juga sempat diangkat tentang Montreal 1999. Perlindungan konsumen yang saat ini diatur di dalam PM no. 77. tentunya dalam hal ini perlu diadakannya Edukasi masyarakat dari regulator.

Kedepannya dengan adanya diskusi seperti ini bisa mendorong untuk didiskusikan lebih lanjut terutama kepada regulator dan pemerintah. Agar nantinya kedepannya Penerbangan di Indonesia bisa terus maju dengan sama-sama baik dari operator, manufaktur, akademisi, maupun regulator untuk saling bersinergi. Apalagi dengan kita sebagai mahasiswa yang punya rasa curiousity yang cukup besar, Ayo sama-sama kenali dunia kita, diskusi, dan gali lebih dalam.


Penulis: Arief Fadilla De Mello







Penulis: Riazy Aulia Ramadhan Harahap
Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.