Pada hari Selasa, 24/03/2015, bertempat di Airman Lounge Hotel Sultan Jakarta, CSE Aviation mengadakan talkshow dengan tema: The answer to the airline industry problem in Indonesia - Action to increase Indonesian aviation safety. Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan di praktisi penerbangan, akademisi, maupun komunitas. Diantaranya disponsori oleh Garuda Indonesia, Air Asia, Mandiri, Angkasa Pura 1, Angkasa Pura 2 dan Tugu Pratama Indonesia.

Dibuka oleh Bapak Edwin Soedarmo, Direktur CSE Aviation mengangkat beberapa tantangan kedepannya. Diantaranya implementasi AEC. Serta berbagai tantangan kedepan yang harus dihadapi oleh Industri penerbangan  yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.

Acara ini menghadirkan pembicara dari berbagai kalangan mulai dari Airline: Executive Director AirAsia Group: Mr. Tony Fernandez, Direktur Utama PT. GMF AeroAsia: Mr. Richard Budihadianto, Sekjen INACA: Mr. Tengku Budinurhanudin, Perwakilan dari Dirjen Hubud, Pak Kusnaidi. Diskusi ini dipandu oleh moderator Bapak Marsekal (Purn) Chappy Hakim.

Di Awal diskusi, moderator, Bapak Chappy Hakim mengajak seluruh yang hadir untuk sama-sama menjawab tantangan penerbangan di tahun 2015 ini. Jika melihat potensi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, industry penerbangan memiliki peluang besar untuk dapat berkembang. Pertumbuhan penerbangan di Asia Pasifik merupakan salah satu pasar dengan perkembangan paling pesat di dunia. AirAsia misalkan, yang merupakan salah satu jawaban akan tingginya permintaan akan jasa transportasi udara berbiaya rendah di Asia Pasifik. Image penerbangan yang dulunya erat dengan luxury dan eksklusifitas sekarang mulai beralih menjadi hal yang biasa dan dapat dinikmati oleh berbagai pihak. Namun, industri penerbangan di Indonesia tengah masa-masa kelam terkait dengan isu keselamatan. Namun hal tersebut selayaknya menjadi renungan bahwa hal tersebut merupakan proses panjang dalam usaha peningkatan keselamatan industry penerbangan. Keselamatan adalah tentang suatu superteam. Mulai dari Maintenance, Airline business, dan komponen-komponen lain yang mendukung sistem penerbangan secara keseluruhan. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah National aviation authority (otoritas penerbangan nasional ). Alasan-alasan tersebut menjadi dasar mengapa diskusi ini dilaksanakan. Jika tidak didiskusikan maka standar keselamatan kita akan tetap terbenam, sementara bukankah kita seharusnya sama-sama memperbaiki hal tersebut?

Diskusi ini merupakan salah satu Exposure untuk menceritakan bagaimana kini rencana pihak perhubungan udara, langkah dari Sekjen inaca, serta pihak-pihak lain dalam rangka menyusun suatu rencana proses perbaikan keselamatan penerbangan Indonesia.

Pak Tengku , perwakilan INACA (Indonesia National Air Carriers Association), menyampaikan tentang berbagai tantangan yang dihadapi industry airline saaat ini. Nilai tukar rupiah yang memburuk menjadi salah satu factor meningkatnya pengeluaran maskapai karena cost structure maskapai yang umumnya dalam US Dollar sedangkan pendapatan dalam Rupiah. Selain, penurunan nilai tukar rupiah, terdapat faktor-faktor lain yang merugikan maskapai nasional secara persaingan dibandingkan maskapai-maskapai asing. Salah satu kebijakan yang dinilai memberatkan maskapai nasional adalah pajak impor komponen dan suku cadang yang dibebankan ke pihak maskapa. Pak Tengku juga mengungkit tentang pentingnya perhatian berbagai pihak menyambut ASEAN Opensky Policy serta kebijakan freedoms of flight. Dari sisi keselamatan, perwakilan INACA ini menekankan pentingnya peningkatan seluruh aspek-aspek keselamatan dalam usaha meningkatkan peringkat Indonesia dalam audit FAA menjadi kategori satu (saat ini kategori dua). Dari sisi kebijakan pelayanan, Pak Tengku menilai bahwa banyak kebijakan yang belum detail sehingga sulit diimplementasi dalam operasional harian. Sebagai contoh, kejadian keterlambatan massal yang terjadi terhadap salah satu maskapai nasional yang cukup chaos karena Peraturan Menteri (PM) no. 77 yang tidak menjelaskan secara detil hubungan antara penyebab keterlambatan dan pemberian kompensasi.



Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh CEO dari AirAsia Group, Bapak Tony Fernandez. Menurut beliau, hal yang paling utama dalam usaha meningkatkan standar keselamatan adalah transparansi seluruh pihak. Dari sudur pandang bisnis, Indonesia memupunyai potensi yang sangat besar di bidang turisme. Potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan mengembangkan industri transportasi udara. Perhubungan udara mampu menghasilkan lapangan kerja dan menjadi pemicu aktivitasi ekonomi di daerah. Salah satu contoh yang beliau angkat adalah kota Bandung. Tony bercerita tentang kunjungannya ke bandung, pemandangannya, tempat belanja, bahkan musik dangdut. Beliau berpikir bandung adalah kota yang bagus, namun tidak ada penerbangan langsung ke Bandung. Bagaimana bila ada penerbangan dari Kuala lumpur ke kota bandung, membuat orang-orang mengenal destinasi bandung. "it's a great city!" Dari asalnya tidak ada penerbangan, kini sampai ada 3x penerbangan ke bandung dalam sehari. Hingga sekarang bandung mengembangkan Bandara nya. Beliau yakin bahwa penerbangan adalah economic driver dan memiliki multiplier effect yang luar biasa.

Dengan adanya ASEAN sebagai one market, maka selanjutnya adalah bagaimana untuk menumbuhkan dan membuatnya lebih mudah. Karena ada sangat banyak kesempatan di luar sana. Dari penerbangan ini juga bagaimana meningkatkan lapangan pekerjaan. Karena di luar sana banyak talenta yang bisa dikembangkan. Bagaimana untuk menghimpun itu semua untuk bertumbuh.

Kemudian dari pak Richard Budihadianto, mewakili GMF AeroAsia juga sebagai IAMSA atau Maintenance. Dari segi Maintenance, tantangan yang dihadapi tak lain adalah sumber daya manusia. License engineer dan mechanic butuh sangat banyak karena pertumbuhan penerbangan kini cukup signifikan. Selain pertumbuhan penumpang, pertumbuhan fleet maskapai yang mendorong kebutuhan yang begitu tinggi. Saat ini perlu diperhatikan proses dari mendapatkan general license agar dapat mendidik lebih banyak tenaga yang dibutuhkan. Karena jika tidak akan terjadi bottleneck kapasitas perawatan. Selain itu juga bagaimana approvalnya diatur sehingga Airlines lebih efisien dengan tetap menjamin reliability. Ada beberapa trend sekarang dimana airline menjadi tidak berinvestasi suku cadang, dan dialihkan ke perusahaan Maintenance. Namun salah satu kendala adalah masih adanya tax untuk part part tertentu.

Setelah itu dilanjutkan pemaparan oleh perwakilan dari Hubud, Pak Kusnaidi, terkait Situasi Perhubungan Udara saat ini. Saat ini Perhubungan Udara sedang mengantisipasi perkembangan dan pertumbuhan penumpang fleet. Tidak dapat disangkal bahwa sekarang kondisinya Hubud seolah-olah defensif, menangkis kesana kemari. Apalagi dengan baru-baru ini diadakannya ICAO Audit dimana Indonesia masih mendapatkan nilai yang belum begitu baik. Tentunya saat ini hubud harus menerapkan Continuous Approach terkait masalah ini. Audit terakhir yang dilakukan ada di 8 area.
Area organisasi apakah sesuai dengan ICAO Convention. Salah satu kendalanya diantaranya karena beberapa ranah menyangkut kementerian yang lain untuk bagaimana authoritynya. Area lain diantaranya Pilot engineer dan ATC, Airworthiness, Annex 8, Sertifikasi produk, Operation, Navigation, Airport, maupun Aircraft Investigation yang merupakan ranah dari KNKT. Hasilnya effective implementation Indonesia mencapai 45% dari Rata rata ASEAN 60%. Tentunya ini jauh ketinggalan dibandingkan negara-negara lain. Saat ini fokus dari hubud bagaimana meningkatkan nilai tersebut. Karena begitu pentingnya FAA dan EU bergantung kepada ICAO. Kedepannya adalah bagaimana continuous monitoring dilaksanakan.

Selanjutnya oleh Pak Budi dari Manufaktur PT Dirgantara Indonesia. Transportasi Udara memang tidak tergantikan sehingga Indonesia harus menguasai transportasi laut dan udara. Saat ini dipandang perusahaan manufaktur tidak boleh tergantung pada negara. Karena itu salah satu strategi Dirgantara Indonesia untuk berfokus ke pesawat yang memiliki peluang bersaing yang besar, misalkan saja N219 yang menerapkan FAR 219. Selain itu juga saat ini PT DI memproduksi komponen dari Pesawat Airbus.

“Kalau 1/3 Indonesia adalah daratan 2/3 adalah lautan, maka wilayah udara kita adalah 3/3 yang merupakan potensi dari penerbangan.”

Di sesi tanya jawab ditanyakan mengenai bagaimana bargaining asosiasi maskapai tentang harga-harga, pajak, dsb. Intinya adalah bagaimana melibatkan berbagai departemen terkait Pajak tersebut. Karena Multiplier effects, akan menjulur kepada ekonomi contohnya Flying school yang berguna untuk dunia penerbangan dikenakan pajak yang cukup besar. Ujung-ujungya adalah bagaimana policy diterapkan oleh pemerintah. Koordinasi sebaiknya lebih ditingkatkan. bagaimana approach yang terkoordinasi dengan baik. Karena Industri ini membutuhkan efisiensi yang tinggi. Kelemahan dengan cost structure yang sekarang cukup besar sehingga perlu dipush, selain itu efeknya termultiply.Karena itu pemerintah perlu mengassist sehingga dapat setingkat world class. Karena pelanggan sangat penting.

Selain itu juga sempat diangkat tentang Montreal 1999. Perlindungan konsumen yang saat ini diatur di dalam PM no. 77. tentunya dalam hal ini perlu diadakannya Edukasi masyarakat dari regulator.

Kedepannya dengan adanya diskusi seperti ini bisa mendorong untuk didiskusikan lebih lanjut terutama kepada regulator dan pemerintah. Agar nantinya kedepannya Penerbangan di Indonesia bisa terus maju dengan sama-sama baik dari operator, manufaktur, akademisi, maupun regulator untuk saling bersinergi. Apalagi dengan kita sebagai mahasiswa yang punya rasa curiousity yang cukup besar, Ayo sama-sama kenali dunia kita, diskusi, dan gali lebih dalam.


Penulis: Arief Fadilla De Mello







Penulis: Riazy Aulia Ramadhan Harahap
0


Universitas Indonesia (UI) - Institut Teknologi Bandung (ITB) - Universitas Gadjah Mada (UGM), tak ada maksud merendahkan perguruan tinggi Indonesia yang lain, namun memang sejauh ini 3 perguruan tinggi ini menjadi favorit di Indonesia. Menurut beberapa lembaga penilai, 3 kampus ini mendominasi urutan 3 besar nasional-dengan urutan yang berbeda-beda. Dari webometrics misalnya, UGM peringkat 1, disusul UI (2) dan ITB (3). Kemudian menurut 4ICU ITB memimpin disusul UGM (2) dan UI (3).

Bukan hal yang salah jika 3 PTN ini bersaing untuk jadi yang terbaik. Namun, efek samping yang muncul adalah orang-orang terus membanding-bandingkan ketiganya. Orang yang sudah berafiliasi dengan salah satunya merasa kampusnya paling hebat, muncul arogansi yang menghambat kolaborasi. Tidak bisa dipungkiri, sebagai orang yang berafiliasi dengan salah satunya, saya pun sering menganggap kampus saya yang terbaik, walaupun di sisi lain saya juga memaklumi jika orang lain menganggap kampusnya terbaik. Saya pikir ini sifat dasar manusia.

Namun kali ini saya ingin menuliskan sesuatu yang semoga bisa mengubah pandangan orang-orang mengenai posisi 3 perguruan tinggi, UI ITB UGM. Mengubah arogansi menjadi semangat kolaborasi dan memicu rasa ingin bersatu. Berawal dari kata-kata dosen saya, saya coba mendalami sejarah ketiga intitusi ini. Hasilnya ? Menarik sekali !!

Universitas Indonesia 
Kita mulai dari UI, berikut adalah timeline yang saya kutip dari http://old.ui.ac.id/id/profile/page/sejarah
1849-1898            Dokterdjawaschool Batavia
1898-1927            School tot Opleiding van Indische Artsen,Batavia
1909-1929            Opleidingschool voor Inlandsche Rechtskundigen, Batavia
1913-1942            Nederlandsch-Indische Veeartsenschool, Buitenzorg
1920-1921            Technische Hoogeschool, Bandoeng
1922-1924            Rechtschool, Batavia
1924-1942            Rechts-hoogeschool, Batavia
1924-1942            Technische-Hoogeschool, Bandoeng
1927-1942            Geneeskundige Hoogeschool, Batavia
1940-1942            Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Batavia
1941-1942            Faculteit der Landbouwwetenschap, Batavia
1943-1945            Djakarta Ika Daigaku
1944-1945            Bandoeng Koogyo Daigaku

Jadi ceritanya, untuk melengkapi pendidikan kedokteran yang sudah ada sejak era Dokter Djawa School dan STOVIA, pemerintah Hindia Belanda mendirikan intitusi pendidikan tinggi untuk bidang lain seperti teknik, hukum, sastra, dan pertanian yang sebagiaannya di luar Jakarta. Selanjutnya, institusi-institusi ini menjadi pilar lahirnya Nood-Universiteit yang akhirnya menjadi Universiteit van Indonesië (Universitas Indonesia) yang sebagian. Seiring berjalannya waktu, fakultas-fakultas di luar Jakarta berdiri menjadi universitas sendiri. Simpan bagian yang dicetak tebal pada timeline di atas. Simpan juga bahwa Universiteit van Indonesië sempat pindah ke Yogyakarta saat ibukota negara dipindah ke Jogja.

Institut Teknologi Bandung
Selanjutnya, kita tinjau ITB, menurut http://www.itb.ac.id/about-itb/timeline:
1920-1942            Technische Hogeschool (TH)      
    3 Juli 1920,            TH diresmikan oleh pemerintah Belanda
1944-1945            Bandung Kogyo Daigaku (BKD)  
    1 April 1944,          TH dibuka kembali dengan nama BKD oleh pemerintah Jepang
1945-1946            Sekolah Tinggi Teknik (STT)         
    1945,                     STT Bandung dibuka
    1946,                     pindah ke Yogyakarta dengan sebutan STT Bandung di Jogja
    1946,                     STT Bandung menjadi Univ. Gajah Mada (UGM)
1946-1950            Universiteit Van Indonesie         
    21 Juni 1946,        didirikan oleh NICA
    1946,                     Faculteit van Technische Wetenschap berdiri
    6 Oktober 1947,    Faculteit van Exacte Wetenschap berdiri
1950-1959            Universitas Indonesia   
                                  Fakultas Teknik
                                  Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam
2 Maret 1959, Institut Teknologi Bandung (ITB) diresmikan oleh Ir. Soekarno
    1959,                     Rektor Pertama ITB dilantik
Sebagai tambahan, ITB diresmikan oleh Ir. Soekarno dengan terminologi 'Institut Teknologi di Kota Bandung' bukan 'Institut Teknologi Bandung'. Menarik ya ? Ini bisa dilihat di Tugu Soekarno. Sekali lagi, simpan yang ditebalkan.

Universitas Gadjah Mada
Melompat ke Jogjakarta, kita bahas UGM, sayang saya tidak berhasil menemukan timeline yang praktis untuk dituliskan disini, saya putuskan mengutip dari wikipedia saja

"Nama Gadjah Mada berawal dari dibentuknya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang terdiri dari Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan. Pendirian diumumkan di Gedung KNI Malioboro pada tanggal 3 Maret 1946 oleh Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Mr. Soenario, Dr. Soleiman, Dr. Buntaran dan Dr. Soeharto.

Sejak 4 Januari 1946 Soekarno dan Hatta memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Dengan maraknya pertempuran antara pejuang kemerdekaan dan Sekutu serta NICA di Jakarta dan Bandung, maka Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung ikut pindah ke Yogyakarta. Pada tanggal 17 Februari 1946, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung dihidupkan kembali di Yogyakarta dengan para pengajarnya antara lain Prof. Ir. Rooseno dan Prof. Ir. Wreksodhiningrat.

Lembaga pendidikan lain yang berdiri pada waktu yang hampir bersamaan adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (berdiri 5 Maret 1946), Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan (berdiri 20 September 1946), Sekolah Tinggi Farmasi (berdiri 27 September 1946), dan Perguruan Tinggi Pertanian (berdiri 27 September 1946) yang kesemuanya berada di Klaten, sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta.

Institut Pasteur di Bandung sejak 1 September 1945, turut pula dipindahkan ke Klaten dengan laboratorium di Rumah Sakit Tegalyoso. Salah seorang yang berperan dalam pemindahan ini adalah Prof. Dr. M. Sardjito yang kelak menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada yang pertama. Kehidupan kampus di Klaten semakin ramai dengan berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi pada awal 1948.

Akhirnya tanggal 19 Desember 1949, lahirlah Universitas Gadjah Mada dengan enam fakultas. "
Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Jogja adalah salah satu cikal bakal lahirnya Universitas Gadjah Mada.

Penutup
Tanpa saya menyimpulkan, saya pikir Anda paham yang saya maksud. Ya, ada hubungan historis antara UI-UGM-ITB. Sejarah salah satu, berhubungan dengan yang lain. Lahirnya salah satu, berhubungan dengan lahirnya yang lain. Jogja-Bandung-Jakarta saling berhubungan dalam mewujudkan 3 institusi hebat ini. Suasana penjajahan ikut membumbui lahirnya wahana pendidikan ini. 

Saya tidak mengatakan yang satu berjasa melahirkan yang lain. UI-ITB-UGM adalah saudara kandung, orang tuanya adalah hasrat Bangsa Indonesia untuk meningkatkan martabatnya.

Penulis: Chandra Nurohman











0


Memasuki momentum Pemilu Raya KM ITB 2015, beberapa hari ini beberapa teman-teman mahasiswa menghubungi saya untuk mengetahui lebih lanjut peran wakil mahasiswa di MWA, atau Majelis Wali Amanat, organ tertinggi ITB yang beranggotakan stakeholder kampus ITB. Ada yang dari panitia pemiranya langsung, ada yang dari junior di prodi, ada yang dari kongres, dan ada pula yang dari bakal calon MWA-WM. Waktu yang biasa saya habiskan untuk berbincang-bincang dengan mereka biasanya memakan waktu sekitar 1-2 jam. Namun karena keterbatasan waktu diakibatkan banyaknya revisi laporan TA yang harus saya lakukan, saya pikir lebih baik saya tuliskan saja buah pemikiran saya selama hampir 1 tahun menjabat sebagai MWA-WM.

Sebelumnya saya ucapkan saya sangat senang melihat semangat dan kesigapan panitia Pemira sekarang. Mereka tidak hanya gigih menyebarkan informasi, namun mereka juga gigih mencari berbagai informasi. Seperti salah seorang adik tingkat saya yang bertanya dengan jujur,

“Gambaran tugas MWA-WM itu apa aja ya? Saya cuma kebayang sebagai penghubung mahasiswa dengan rektorat aja, Kak”.

Sontak saya berpikir, sepertinya masih banyak mahasiswa yang menyalahartikan bahwa MWA-WM itu hanyalah sekedar corong suara antara mahasiswa dengan rektorat. Saya pun menjelaskan ke dia, jika peranan MWA-WM yang diharapkan adalah sebagai corong suara antara mahasiswa dengan rektorat, berarti kita tidak menghormati sistem yang ada di ITB, dengan ingin melompati birokrasi yang ada. Harus kita ingat di bawah jajaran rektorat ada WRAM (Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan) dan juga ada LK (Lembaga Kemahasiswaan). Kemudian jika kita membaca STATUTA ITB, peraturan dasar pengelolaan ITB, disebutkan bahwa salah satu tugas MWA adalah menetapkan kebijakan “UMUM” ITB dang mengawasi pelaksanaannya. Jadi di MWA tidak pernah dibahas hal yang bersifat teknis, karena untuk hal yang bersifat teknis, sudah ada organ lain yang mengaturnya.

Lho, kalau begitu tugas MWA-WM apa dong kalau bukan sebagai corong suara mahasiswa? Kebijakan umum itu yang seperti apa?

Saya jelaskan kepadanya bahwa salah satu topik utama yang dibahas di MWA adalah bagaimana mengubah sistem pembangunan perekonomian Indonesia dari resource-based economy menjadi research-based economy. Bagaimana caranya agar negara kita tidak hanya bergantung kepada sumber daya alamnya. Tidak usah jauh-jauh kita melihat negara-negara maju seperti Amerika, negara-negaa di Eropa yang sudah ratusan tahun merdeka, lihat saja dulu yang dekat, seperti Korea Selatan. Bagaimana agar negara kita bisa seperti Korea Selatan yang ketika tahun 1960-an GDP/capita-nya masih di bawah Indonesia, dan sekarang sudah 6x lipat di atas Indonesia. Bagaimana bisa mereka se-progressif itu? Tak lain adalah karena sistem perekonomiannya telah menerapkan sistem research/knowledge economy, yaitu bagaimana dengan mengembangkan riset dan inovasi membuat industri dalam negeri semakin maju, dan dengan industri yang kuat, menghasilkan perekonomian bangsa yang kuat pula.

Lalu hubungan MWA dengan hal ini apa? Tentunya jika kita berbicara mengenai sistem research-based economy, kita langsung tahu bahwa pelaku utamanya adalah research university. Apakah ITB saat ini sudah pantas dikategorikan sebagai research university? Atau masih teaching university? Padahal RENIP (Rencana Induk Pengembangan) ITB 2006-2025 yang disusun MWA, menyatakan bahwa saat ini harusnya ITB sudah bertransformasi menjadi research university, sehingga pada tahun 2025, ITB sudah menjadi World Class University. Tujuan besar yang sangat mulia sekali, bukan?
Kemudian, jika kita berbicara mengenai ITB sebagai suatu kampus research university, tentunya kita bertanya kembali, siapa yang seharusnya melakukan riset? Memang betul, riset identiknya dengan mahasiswa pascasarjana. Tapi kan sebaiknya budaya riset dan inovasi itu sudah dipupuk semenjak kita masih mahasiswa s1. Minimal kita pernah menulis paper, karena menulis suatu karya ilmiah tentunya bukan hal mudah. Saya bersyukur ketika saya tingkat 4, salah satu dosen saya menyuruh seluruh mahasiswa kelasnya membuat tugas besar kuliah tersebut dalam format paper. Dan suatu ketika, saya kirimkan hasil paper saya tersebut ke suatu konferensi internasional, dan alhamdulillah diterima! Saya membayangkan, bagaimana ya jika budaya seperti ini dikembangkan untuk seluruh mahasiswa s1? Itu baru salah satu contoh kecil, saya lihat banyak sekali potensi hebat teman-teman mahasiswa yang sekiranya bisa memberikan dampak luar biasa bagi pembangunan bangsa jika potensi tersebut difasilitasi dan dikembangkan. Berapa banyak unit dan himpunan di ITB yang acap kali melakukan pengmas? Salah satu himpunan di ITB bahkan ada yang pengmas dengan mengembangkan listrik di suatu desa. Bayangkan jika ini terus dikembangkan? Dalam suatu rapat MWA, guberbur Jawa Barat, Pak Aher, pernah mengutarakan harapan beliau agar hasil TA/thesis mahasiswa ITB bisa diterapkan langsung ke Jawa Barat. Nah…..inilah salah satu dampak nyata yang bisa dirasakan langsung dari sistem research-based economy!

Ketika kita sudah tau bahwa yang melakukan riset dan inovasi itu mahasiswa, bayangkan jika ternyata mahasiswanya yang tidak tahu kita ini sebenarnya mau kemana! Anggaplah di MWA tidak ada wakil mahasiswa, dan para anggota MWA bilang, “ITB harus jadi kampus riset!”. Apakah para anggota MWA tahu bagaimana kondisi dan kebutuhan serta potensi mahasiswa? Dan apakah bisa kita mencapai tujuan besar tersebut jika pelaku utamanya (mahasiswa) malah tidak tahu, kita ini mau kemana??

Saya tambahakan penjelasan saya dengan sebuah analogi, “Saya kan mahasiswa Penerbangan. Jika saya ngobrol dengan Pak Habibie soal pesawat, pasti nyambung. Tapi kalau saya mengobrol soal kemahasiswaan dengan beliau, apakah pasti masih nyambung?”.

Tentulah tidak mudah menjadi MWA-WM mengingat kita harus menjadi representasi mahasiswa di MWA. Padahal kita tahu ada banyak mahasiswa lain yang lebih hebat dari kita. Tapi itu tidak masalah jika itu kita jadikan cambuk untuk diri kita agar kita bisa sama hebatnya atau bahkan lebih hebat dari mereka! Dengan cara apa? Banyak. Rajin diskusi (dengan orang dari berbagai latar belakang) dan membaca agar berwawasan luas, membiasakan menulis dan berkarya, serta berwisata mumpung masih muda dan mempelajari budaya lain yang bisa kita tiru.

Tapi sekarang saya khawatir. Pada masa pendaftaran bakal calon MWA-WM yang pertama, ada 3 orang mahasiswa yang mendaftar. Namun karena tidak ada bakal calon MWA-WM dan Presiden yang lolos verifikasi, akhirnya pendaftaran dibuka ulang, dan sampai saat ini hanya 1 bakal calon yang mencalonkan diri menjadi MWA-WM. Mengapa dari ribuan mahasiswa hanya 1 yang mencalonkan diri? Apakah karena sulit? Atau karena masih kurang tahunya mahasiswa dengan peran MWA-WM yang sebenarnya?\

Saya harap dengan tulisan saya ini, mahasiswa yang tadinya tidak tahu dengan peran MWA menjadi tahu, dan mahasiswa yang tahu akan menjadi peduli, dan dengan kepeduliannya, muncul pula bakal-bakal calon MWA-WM yang lainnya.


Penulis: Aulia Maharani Akbar

0


Sesuai dengan ciri khas kelompok yaitu adanya kesamaan tujuan dari para anggotanya maka kelompok seharusnya mempunyai satu keputusan yang sama. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pendapat anggota dalam suatu kelompok pasti selalu ada karena pada hakekatnya manusia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda sesuai dengan pembentukan dirinya yang terdiri dari banyak faktor yang berbeda-beda. Nah, bagaimana kita menyiasati perbedaan pemikiran tersebut untuk mendapatkan keluaran keputusan kelompok. Hasil pemikiran dalam suatu kelompok seharusnya adalah hasil pemikiran yang harus merepresentasikan kelompok tersebut.

Untuk mendapatkan keputusan yang merepresentasikan kelompok, hal penting yang harus diperhatikan adalah aspirasi. Aspirasi adalah harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa setiap aspirasi dari anggota akan menentukan kelompok kedepannya. Aspirasi dapat datang dari kelompok atau dari anggota. Aspirasi yang datang dari kelompok akan menjadi roda penggerak kelompok untuk mencapai tujuan. Sedangkan aspirasi yang datang dari anggota kepada kelompok akan menjadi stimulus kelompok berkembang.

Penarikan aspirasi yang tepat adalah kunci utama dari keputusan kelompok. Jika dilakukan dengan benar, keputusan kelompok akan merepresentasikan kelompok tersebut. Tapi jika dilakukan dengan salah, tidak akan ada keputusan kelompok, yang ada hanyalah keputusan pribadi yang mengatasnamakan kelompok. Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana penarikan aspirasi yang tepat agar keputusan kelopok lebih optimal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada empat hal yang harus dipertimbangkan dalam penarikan aspirasi.

1. Pemberian informasi harus dilakukan secara netral
Pemberian informasi secara netral berarti tidak ada pengaruh dari pandangan pribadi dalam menyampaikan informasi mengenai isu yang diberikan. Sehingga anggota dapat memberikan pandangannya secara murni. Jika anggota sudah berpendapat barulah dimulai diskusi antar pendapat sehingga tercipta pemikiran bersama.

2. Kesadaran anggota akan kepentingan kelompok
Setiap orang pasti mempunyai kepentingan masing-masing. Namun jika kita berbicara tentang kepentingan kelompok kita berbicara tentang kepentingan bersama, kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, kita harus mendahulukan kepentingan kelompok baru kemudian kepentingan pribadi.

3. Penarikan aspirasi yang optimal

Kadang-kadang kita tidak memerlukan pendapat dari semua anggota. Bila kelompok harus menanggapi suatu isu dengan cepat akan lebih baik bila kelompok menarik aspirasi kepada anggotanya yang benar-benar handal dalam hal tersebut. Tapi ada kalanya juga kelompok memerlukan pendapat semua anggota, mulai dari yang mengerti isu yang terjadi sampai kepada anggota yang tidak mengerti. Hal itu dikarenakan keputusan kelompok akan dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama adalah sisi orang yang mengerti yang biasanya akan lebih realistis, kedua adalah sisi orang yang tidak mengerti yang biasanya akan lebih ideal atau kebalikannya. Dari situ kelompok mendapatkan prespektif yang jauh lebih luas sehingga dapat mencapai suatu keputusan yang optimal.

4. Peran orang yang menyampaikan hasil pemikiran kelompok
Orang yang menyampaikan hasil pemikiran kelompok harus berdiri atas dasar kelompok. Walaupun pemikirannya berbeda dengan kelompok, ia tetap harus membawa aspirasi dari kelompoknya bukan dari dirinya sendiri.

5. Pengondisian isu yang tepat
Jika ada dua atau lebih isu yang datang pada kelompok maka kelompok akan menyikapi isu tersebut dengan porsi yang berbeda-beda. Isu yang dominan akan direspon dengan lebih baik sehingga menghasilkan keputusan yang lebih optimal. Sebaliknya, isu yang kurang dominan akan direspon dengan kurang baik sehingga menghasilkan keputusan yang kurang optimal. Dari hal tersebut, kelompok harus bisa mengondisikan isu yang mana yang harus didahulukan.
Semoga dengan adanya tulisan ini, pengambilan keputusan dalam kelompok dapat lebih optimal.



Penulis : Yosua Prawira G.
0
Powered by Blogger.