MWA-WM Calon Tunggal, Ketua MWA-WM 2014/2015 Bersuara

Leave a Comment


Memasuki momentum Pemilu Raya KM ITB 2015, beberapa hari ini beberapa teman-teman mahasiswa menghubungi saya untuk mengetahui lebih lanjut peran wakil mahasiswa di MWA, atau Majelis Wali Amanat, organ tertinggi ITB yang beranggotakan stakeholder kampus ITB. Ada yang dari panitia pemiranya langsung, ada yang dari junior di prodi, ada yang dari kongres, dan ada pula yang dari bakal calon MWA-WM. Waktu yang biasa saya habiskan untuk berbincang-bincang dengan mereka biasanya memakan waktu sekitar 1-2 jam. Namun karena keterbatasan waktu diakibatkan banyaknya revisi laporan TA yang harus saya lakukan, saya pikir lebih baik saya tuliskan saja buah pemikiran saya selama hampir 1 tahun menjabat sebagai MWA-WM.

Sebelumnya saya ucapkan saya sangat senang melihat semangat dan kesigapan panitia Pemira sekarang. Mereka tidak hanya gigih menyebarkan informasi, namun mereka juga gigih mencari berbagai informasi. Seperti salah seorang adik tingkat saya yang bertanya dengan jujur,

“Gambaran tugas MWA-WM itu apa aja ya? Saya cuma kebayang sebagai penghubung mahasiswa dengan rektorat aja, Kak”.

Sontak saya berpikir, sepertinya masih banyak mahasiswa yang menyalahartikan bahwa MWA-WM itu hanyalah sekedar corong suara antara mahasiswa dengan rektorat. Saya pun menjelaskan ke dia, jika peranan MWA-WM yang diharapkan adalah sebagai corong suara antara mahasiswa dengan rektorat, berarti kita tidak menghormati sistem yang ada di ITB, dengan ingin melompati birokrasi yang ada. Harus kita ingat di bawah jajaran rektorat ada WRAM (Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan) dan juga ada LK (Lembaga Kemahasiswaan). Kemudian jika kita membaca STATUTA ITB, peraturan dasar pengelolaan ITB, disebutkan bahwa salah satu tugas MWA adalah menetapkan kebijakan “UMUM” ITB dang mengawasi pelaksanaannya. Jadi di MWA tidak pernah dibahas hal yang bersifat teknis, karena untuk hal yang bersifat teknis, sudah ada organ lain yang mengaturnya.

Lho, kalau begitu tugas MWA-WM apa dong kalau bukan sebagai corong suara mahasiswa? Kebijakan umum itu yang seperti apa?

Saya jelaskan kepadanya bahwa salah satu topik utama yang dibahas di MWA adalah bagaimana mengubah sistem pembangunan perekonomian Indonesia dari resource-based economy menjadi research-based economy. Bagaimana caranya agar negara kita tidak hanya bergantung kepada sumber daya alamnya. Tidak usah jauh-jauh kita melihat negara-negara maju seperti Amerika, negara-negaa di Eropa yang sudah ratusan tahun merdeka, lihat saja dulu yang dekat, seperti Korea Selatan. Bagaimana agar negara kita bisa seperti Korea Selatan yang ketika tahun 1960-an GDP/capita-nya masih di bawah Indonesia, dan sekarang sudah 6x lipat di atas Indonesia. Bagaimana bisa mereka se-progressif itu? Tak lain adalah karena sistem perekonomiannya telah menerapkan sistem research/knowledge economy, yaitu bagaimana dengan mengembangkan riset dan inovasi membuat industri dalam negeri semakin maju, dan dengan industri yang kuat, menghasilkan perekonomian bangsa yang kuat pula.

Lalu hubungan MWA dengan hal ini apa? Tentunya jika kita berbicara mengenai sistem research-based economy, kita langsung tahu bahwa pelaku utamanya adalah research university. Apakah ITB saat ini sudah pantas dikategorikan sebagai research university? Atau masih teaching university? Padahal RENIP (Rencana Induk Pengembangan) ITB 2006-2025 yang disusun MWA, menyatakan bahwa saat ini harusnya ITB sudah bertransformasi menjadi research university, sehingga pada tahun 2025, ITB sudah menjadi World Class University. Tujuan besar yang sangat mulia sekali, bukan?
Kemudian, jika kita berbicara mengenai ITB sebagai suatu kampus research university, tentunya kita bertanya kembali, siapa yang seharusnya melakukan riset? Memang betul, riset identiknya dengan mahasiswa pascasarjana. Tapi kan sebaiknya budaya riset dan inovasi itu sudah dipupuk semenjak kita masih mahasiswa s1. Minimal kita pernah menulis paper, karena menulis suatu karya ilmiah tentunya bukan hal mudah. Saya bersyukur ketika saya tingkat 4, salah satu dosen saya menyuruh seluruh mahasiswa kelasnya membuat tugas besar kuliah tersebut dalam format paper. Dan suatu ketika, saya kirimkan hasil paper saya tersebut ke suatu konferensi internasional, dan alhamdulillah diterima! Saya membayangkan, bagaimana ya jika budaya seperti ini dikembangkan untuk seluruh mahasiswa s1? Itu baru salah satu contoh kecil, saya lihat banyak sekali potensi hebat teman-teman mahasiswa yang sekiranya bisa memberikan dampak luar biasa bagi pembangunan bangsa jika potensi tersebut difasilitasi dan dikembangkan. Berapa banyak unit dan himpunan di ITB yang acap kali melakukan pengmas? Salah satu himpunan di ITB bahkan ada yang pengmas dengan mengembangkan listrik di suatu desa. Bayangkan jika ini terus dikembangkan? Dalam suatu rapat MWA, guberbur Jawa Barat, Pak Aher, pernah mengutarakan harapan beliau agar hasil TA/thesis mahasiswa ITB bisa diterapkan langsung ke Jawa Barat. Nah…..inilah salah satu dampak nyata yang bisa dirasakan langsung dari sistem research-based economy!

Ketika kita sudah tau bahwa yang melakukan riset dan inovasi itu mahasiswa, bayangkan jika ternyata mahasiswanya yang tidak tahu kita ini sebenarnya mau kemana! Anggaplah di MWA tidak ada wakil mahasiswa, dan para anggota MWA bilang, “ITB harus jadi kampus riset!”. Apakah para anggota MWA tahu bagaimana kondisi dan kebutuhan serta potensi mahasiswa? Dan apakah bisa kita mencapai tujuan besar tersebut jika pelaku utamanya (mahasiswa) malah tidak tahu, kita ini mau kemana??

Saya tambahakan penjelasan saya dengan sebuah analogi, “Saya kan mahasiswa Penerbangan. Jika saya ngobrol dengan Pak Habibie soal pesawat, pasti nyambung. Tapi kalau saya mengobrol soal kemahasiswaan dengan beliau, apakah pasti masih nyambung?”.

Tentulah tidak mudah menjadi MWA-WM mengingat kita harus menjadi representasi mahasiswa di MWA. Padahal kita tahu ada banyak mahasiswa lain yang lebih hebat dari kita. Tapi itu tidak masalah jika itu kita jadikan cambuk untuk diri kita agar kita bisa sama hebatnya atau bahkan lebih hebat dari mereka! Dengan cara apa? Banyak. Rajin diskusi (dengan orang dari berbagai latar belakang) dan membaca agar berwawasan luas, membiasakan menulis dan berkarya, serta berwisata mumpung masih muda dan mempelajari budaya lain yang bisa kita tiru.

Tapi sekarang saya khawatir. Pada masa pendaftaran bakal calon MWA-WM yang pertama, ada 3 orang mahasiswa yang mendaftar. Namun karena tidak ada bakal calon MWA-WM dan Presiden yang lolos verifikasi, akhirnya pendaftaran dibuka ulang, dan sampai saat ini hanya 1 bakal calon yang mencalonkan diri menjadi MWA-WM. Mengapa dari ribuan mahasiswa hanya 1 yang mencalonkan diri? Apakah karena sulit? Atau karena masih kurang tahunya mahasiswa dengan peran MWA-WM yang sebenarnya?\

Saya harap dengan tulisan saya ini, mahasiswa yang tadinya tidak tahu dengan peran MWA menjadi tahu, dan mahasiswa yang tahu akan menjadi peduli, dan dengan kepeduliannya, muncul pula bakal-bakal calon MWA-WM yang lainnya.


Penulis: Aulia Maharani Akbar

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.